Kevin/Marcus, Mengenang Kekalahan yang Berulang
Kevin/Marcus selalu kesulitan melawan Hiroyuki Endo/Yuta Watanabe. (dok. PBSI)
CNN Indonesia -- Kevin Sanjaya/Marcus Gideon tak terlihat membara di lapangan ketika kalah dari Hiroyuki Endo/Yuta Watanabe di semifinal BWF World Tour Finals 2019.
Ada momen mereka berteriak saling memberi semangat. Namun, dari sudut pandang secara utuh Minions hari itu bukanlah Minions yang dikenal agresif, atraktif, dan bermain dengan penuh keceriaan.
Wajah muram Kevin/Marcus di lapangan hari itu adalah wajah yang jarang terlihat di arena pertandingan. Tergambar jelas Kevin/Marcus terlihat frustrasi dan tak menemukan solusi untuk menghancurkan pertahanan Endo/Watanabe.
Endo/Watanabe sudah meraih lima kemenangan atas Kevin/Marcus tahun ini secara beruntun. Bahkan di BWF World Tour Finals 2019, Kevin/Marcus dua kali kalah di tangan ganda asal Jepang tersebut.
Sepanjang era kejayaan Kevin/Marcus, belum ada lawan yang mampu memberi level kesulitan seperti Endo/Watanabe. Ganda Denmark Mathias Boe/Carsten Mogensen memang menghadirkan kesulitan, namun bisa dibobol Kevin/Marcus di tahun yang sama.
Han Chengkai/Zhou Haodong asal China juga sempat jadi ancaman, tapi bisa diredam Minions beberapa bulan kemudian.
Untuk Endo/Watanabe, Minions benar-benar terkapar tak berdaya. Segala pelajaran dari kekalahan sebelumnya tidak bisa mereka ubah menjadi kemenangan di laga berikutnya. Padahal, sebelum lima kali kalah di tahun ini Minions mampu memenangi dua duel lawan Endo/Watanabe di 2018.
Dengan kondisi tersebut wajar bila ada rasa frustrasi, tidak percaya diri, hingga 'ketakutan' dalam pola permainan yang diperagakan oleh Kevin/Marcus.
Dalam kekalahan di BWF World Tour Finals 2019, Minions mengaku shuttlecock agak berat yang tentunya dipengaruhi oleh kondisi arena pertandingan. Hal itu kemudian berdampak pada permainan Kevin/Marcus.
Kevin/Marcus yang terbiasa dengan permainan dan serangan cepat butuh tenaga ekstra untuk melumpuhkan lawan. Sebuah permainan tidak bisa mereka menangi hanya dalam 1-2 serangan dan itu terus berulang. Smes Kevin dan Marcus dari baseline kemudian tidak menggigit seperti biasanya.
Kondisi makin sulit karena Endo/Watanabe dikenal punya pertahanan bagus menghadapi serangan smes lawan. Kondisi shuttlecock di Guangzhou sangat menguntungkan mereka dalam duel lawan Minions. Mereka bisa bertahan hingga akhirnya melancarkan serangan balik saat mendapat momentum tepat.
Kevin/Marcus sudah menerapkan pola yang tepat di gim kedua ketika pertandingan banyak diwarnai adu drive dan duel penempatan bola. Tapi masuk ke gim penentuan, Kevin/Marcus kembali larut dalam pola lawan.
Kalah tidak pernah jadi momen yang baik, namun kekalahan bisa membuat seseorang berubah menjadi lebih baik.
Kekalahan beruntun dari Endo/Watanabe ini bakal jadi PR terbesar bagi Minions memasuki tahun Olimpiade di 2020. Kevin/Marcus tentu tak bisa hanya berharap Endo/Watanabe sedang dalam performa buruk atau berdoa ganda Jepang itu lebih dulu kalah sebelum berjumpa mereka.
Entah itu faktor lapangan, shuttlecock atau arah angin, Kevin/Marcus dibantu tim pelatih harus bisa menemukan solusi dan rencana cadangan dalam menghadapi situasi tersebut.
Aspek Fisik juga kemudian jadi hal yang krusial. Dengan pola serangan yang tak bisa mematikan musuh dalam 2-3 pukulan seperti biasa, mereka tentu butuh dukungan fisik yang lebih mumpuni untuk menunjang konsistensi dan 'daya ledak' serangan mereka untuk waktu yang lebih lama.
Selain aspek teknik, kepercayaan diri Kevin/Marcus dalam duel berikutnya lawan Endo/Watanabe juga harus ditata ulang. Mereka tak boleh merasa inferior di hadapan Endo/Watanabe karena sejatinya Minions masih merupakan ganda paling superior di dunia.
Di tengah kegagalan merebut tiga gelar besar tahun ini: All England, Kejuaraan Dunia, dan BWF World Tour Finals, Minions masih jadi ganda terbaik dalam perhitungan gelar lewat raihan delapan turnamen.
Mengacu pada nama-nama yang sama dari turnamen ke turnamen, artinya Kevin/Marcus tetap jadi ganda putra paling konsisten tahun ini. Belajar dari kekalahan terkadang lebih menyenangkan daripada melakukan evaluasi pada kemenangan.
Kevin/Marcus harus ingat ganda putra Indonesia yang jadi juara Olimpiade juga pernah punya ketakutan dan kekhawatiran serupa sebelum merebut medali emas dan berdiri di podium tertinggi.
Ricky Soebagdja/Rexy Mainaky saat itu mengaku gentar menghadapi Rudy Gunawan/Bambang Suprianto jelang Olimpiade Atlanta 1996. Candra Wijaya/Tony Gunawan sulit menang lawan ganda Korea Selatan setahun sebelum mereka berjaya di Olimpiade Sydney 2000.
Markis Kido/Hendra Setiawan juga tak pernah punya cara jitu untuk menaklukkan Koo Kien Keat/Tan Boon Heong sebelum jadi pemenang Olimpiade Beijing 2008. Khusus untuk Candra/Tony dan Kido/Hendra, mereka akhirnya harus benar-benar melawan hal mereka takuti dalam perjalanan meraih emas Olimpiade.
Kevin/Marcus bisa berkaca dari hal itu dan mengulang hal yang sama karena mereka punya potensi besar untuk melakukannya. Kalah selalu jadi momen yang tidak baik, namun kekalahan dari Endo/Watanabe bisa membuat Minions jadi ganda putra yang jauh lebih baik
sumber:https://www.cnnindonesia.com/olahraga/20191215103208-170-457079/kevin-marcus-mengenang-kekalahan-yang-berulang
Ada momen mereka berteriak saling memberi semangat. Namun, dari sudut pandang secara utuh Minions hari itu bukanlah Minions yang dikenal agresif, atraktif, dan bermain dengan penuh keceriaan.
Wajah muram Kevin/Marcus di lapangan hari itu adalah wajah yang jarang terlihat di arena pertandingan. Tergambar jelas Kevin/Marcus terlihat frustrasi dan tak menemukan solusi untuk menghancurkan pertahanan Endo/Watanabe.
Endo/Watanabe sudah meraih lima kemenangan atas Kevin/Marcus tahun ini secara beruntun. Bahkan di BWF World Tour Finals 2019, Kevin/Marcus dua kali kalah di tangan ganda asal Jepang tersebut.
Sepanjang era kejayaan Kevin/Marcus, belum ada lawan yang mampu memberi level kesulitan seperti Endo/Watanabe. Ganda Denmark Mathias Boe/Carsten Mogensen memang menghadirkan kesulitan, namun bisa dibobol Kevin/Marcus di tahun yang sama.
Kevin/Marcus sering kalah dari Hiroyuki Endo/Yuta Watanabe. (Dok. Humas PBSI)
|
Untuk Endo/Watanabe, Minions benar-benar terkapar tak berdaya. Segala pelajaran dari kekalahan sebelumnya tidak bisa mereka ubah menjadi kemenangan di laga berikutnya. Padahal, sebelum lima kali kalah di tahun ini Minions mampu memenangi dua duel lawan Endo/Watanabe di 2018.
Dengan kondisi tersebut wajar bila ada rasa frustrasi, tidak percaya diri, hingga 'ketakutan' dalam pola permainan yang diperagakan oleh Kevin/Marcus.
Dalam kekalahan di BWF World Tour Finals 2019, Minions mengaku shuttlecock agak berat yang tentunya dipengaruhi oleh kondisi arena pertandingan. Hal itu kemudian berdampak pada permainan Kevin/Marcus.
Kevin/Marcus yang terbiasa dengan permainan dan serangan cepat butuh tenaga ekstra untuk melumpuhkan lawan. Sebuah permainan tidak bisa mereka menangi hanya dalam 1-2 serangan dan itu terus berulang. Smes Kevin dan Marcus dari baseline kemudian tidak menggigit seperti biasanya.
Kondisi makin sulit karena Endo/Watanabe dikenal punya pertahanan bagus menghadapi serangan smes lawan. Kondisi shuttlecock di Guangzhou sangat menguntungkan mereka dalam duel lawan Minions. Mereka bisa bertahan hingga akhirnya melancarkan serangan balik saat mendapat momentum tepat.
Kekalahan beruntun dari Endo/Watanabe menjadi PR Kevin/Marcus jelang Olimpiade 2020. (Dok. Humas PBSI)
|
Kalah tidak pernah jadi momen yang baik, namun kekalahan bisa membuat seseorang berubah menjadi lebih baik.
Kekalahan beruntun dari Endo/Watanabe ini bakal jadi PR terbesar bagi Minions memasuki tahun Olimpiade di 2020. Kevin/Marcus tentu tak bisa hanya berharap Endo/Watanabe sedang dalam performa buruk atau berdoa ganda Jepang itu lebih dulu kalah sebelum berjumpa mereka.
Entah itu faktor lapangan, shuttlecock atau arah angin, Kevin/Marcus dibantu tim pelatih harus bisa menemukan solusi dan rencana cadangan dalam menghadapi situasi tersebut.
Aspek Fisik juga kemudian jadi hal yang krusial. Dengan pola serangan yang tak bisa mematikan musuh dalam 2-3 pukulan seperti biasa, mereka tentu butuh dukungan fisik yang lebih mumpuni untuk menunjang konsistensi dan 'daya ledak' serangan mereka untuk waktu yang lebih lama.
Selain aspek teknik, kepercayaan diri Kevin/Marcus dalam duel berikutnya lawan Endo/Watanabe juga harus ditata ulang. Mereka tak boleh merasa inferior di hadapan Endo/Watanabe karena sejatinya Minions masih merupakan ganda paling superior di dunia.
Di tengah kegagalan merebut tiga gelar besar tahun ini: All England, Kejuaraan Dunia, dan BWF World Tour Finals, Minions masih jadi ganda terbaik dalam perhitungan gelar lewat raihan delapan turnamen.
Mengacu pada nama-nama yang sama dari turnamen ke turnamen, artinya Kevin/Marcus tetap jadi ganda putra paling konsisten tahun ini. Belajar dari kekalahan terkadang lebih menyenangkan daripada melakukan evaluasi pada kemenangan.
Kevin/Marcus harus ingat ganda putra Indonesia yang jadi juara Olimpiade juga pernah punya ketakutan dan kekhawatiran serupa sebelum merebut medali emas dan berdiri di podium tertinggi.
Ricky Soebagdja/Rexy Mainaky saat itu mengaku gentar menghadapi Rudy Gunawan/Bambang Suprianto jelang Olimpiade Atlanta 1996. Candra Wijaya/Tony Gunawan sulit menang lawan ganda Korea Selatan setahun sebelum mereka berjaya di Olimpiade Sydney 2000.
Markis Kido/Hendra Setiawan juga tak pernah punya cara jitu untuk menaklukkan Koo Kien Keat/Tan Boon Heong sebelum jadi pemenang Olimpiade Beijing 2008. Khusus untuk Candra/Tony dan Kido/Hendra, mereka akhirnya harus benar-benar melawan hal mereka takuti dalam perjalanan meraih emas Olimpiade.
Kevin/Marcus bisa berkaca dari hal itu dan mengulang hal yang sama karena mereka punya potensi besar untuk melakukannya. Kalah selalu jadi momen yang tidak baik, namun kekalahan dari Endo/Watanabe bisa membuat Minions jadi ganda putra yang jauh lebih baik
sumber:https://www.cnnindonesia.com/olahraga/20191215103208-170-457079/kevin-marcus-mengenang-kekalahan-yang-berulang
0 komentar:
Posting Komentar